Minggu, 29 Januari 2012

Model Pengembangan Guru



Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan orang untuk belajar terus, terlebih seorang yang mempunyai tugas mendidik dan mengajar. Sedikit saja lengah dalam belajar maka akan tertinggal dengan perkembangan termasuk siswa yang diajar. Oleh karenanya, kemampuan mengajar guru harus selalu ditingkatkan melalui pengembangan guru. Tujuan pengembangan guru melalui pembinaan guru adalah untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang di dalamnya melibatkan guru dan siswa, melalui serangkaian tindakan, bimbingan dan arahan. Perbaikan proses belajar mengajar yang pencapainnya melalui peningkatan profesional guru tersebut diharapkan memberikan kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan (Ali Imron, 1995: 23). 

Menurut Sudarwan Danim (2002: 51) menjelaskan bahwa pengembangan profesionalisme guru dimaksudkan untuk memenuhi tiga kebutuhan. Pertama, kebutuhan sosial untuk meningkatkan kemampuan sistem pendidikan yang efisien dan manusiawi serta melakukan adaptasi untuk penyusunan kebutuhan-kebutuhan sosial. Kedua, kebutuhan untuk menemukan cara-cara untuk membantu staff pendidikan dalam rangka mengembangkan pribadinya secara luas. Ketiga, kebutuhan untuk mengembangkan dan mendorong kehidupan pribadinya, seperti halnya membantu siswanya dalam mengembangkan keinginan dan keyakinan untuk memenuhi tuntutan pribadi yang sesuai dengan potensi dasarnya.

Banyak cara yang dilakukan oleh guru untuk menyesuaikan dengan perubahan, baik itu secara perorangan, kelompok atau dalam satu system yang diatur oleh lembaga. 1. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional (2005) menyebutkan beberapa alternative Program Pengembangan Profesionalisme Guru, sebagai berikut. 

a. Program peningkatan kualifikasi pendidikan guru 

Sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru adalah minimal S1 dari program keguruan, maka masih ada guru-guru yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Oleh karenanya program ini diperuntukkan bagi guru yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal S1 untuk mengikuti pendidikan S1 atau S2 pendidikan keguruan. Program ini berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar. 

b. Program penyetaraan atau sertifikasi 

Program ini diperuntukkan bagi guru yang mengajar tidak ssuai dengan latar belakang pendidikannya atau buakn berasal dari program pendidikan keguruan. Keadaan ini terjadi karena sekolah mengalami keterbatasan atau kelebihan guru mata pelajarn tertentu. Sering terjadi kualifikasi pendidikan merka lebih tinggi dari kualifikasi yang dituntut namun tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi bukan kependidikan. Mereka bisa mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi. 

c. Program pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi 

Pelatihan Terintegrasi Berbasis Kompetensi (PTBK) merupakan pelatihan yang mengacu pada kompetensi yang akan dicapai dan diperlukan oleh pesrta didik, sehingga isi/materi pelatihan yang akan dilatihkan merupakan gabungan/integrasi bidang-bidang ilmu sumber bahan pelatihan yang secara utuh diperlukan untuk mencapai kompetensi (Depdiknas, 2002:4). Kompetensi yang diharapkan oleh guru mencakup: 

1) Memiliki pemahaman landasan dan wawasan pendidikan, terutama yang terkait dengan bidang tugasnya. 

2) Menguasi materi pelajaran, minimal sesuai dengan cakupan materi yang tercantum dalam profil kompetensi. 

3) Menguasai pengelolaan pembelajaran sesuai dengan karakteristik mata pelajaran. 

4) Memiliki wawasan profesi serta kepribadian sebagai guru. 

d. Program supervisi pendidikan 

Dalam praktik pembelajarn di kelas masih sering ditemui guru-guru yang ditingkatkan profesionalismenya dalam proses belajar mengajarnya. Sering ada persepsi yang salah atau kurang tepat di mana tugas supervisor sering dimaknai sebagai tugas untuk mencari kesalhan atau untu mngadili guru, padahal tujuannya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses belajar mengajar. Ciri utama supervisi adalah perubahan dalam ke arah yang lebih baik, positif proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien. 

e. Program pemberdayaan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) 

MGMP adalah suatu forum atau wadah kegiatan professional guru mata pelajaran sejenis di sanggar maupun masing-masing sekolah terdiri dari dua unsure yaitu musyawarah dan guru mata pelajaran. 

f. Simposium guru 

Forum ini selain sebagai media untuk sharing pengalaman juga berfungsi untuk kompetisi antar guru, dengan menampilkan guru-guru yang berprestasi dalam berbagai bidang, misalnya dala penggunaan metode pembelajaran, hasil penelitian tindakan kelas atau penulisan karya ilmiah. 

g. Program pelatihan tradisional lainnya 

Pelatihan ini pada umumnya mengacu pada satu aspek khusus yang sifatnya aktual dan penting untuk diketahui oleh para guru, misalnya: CTL, KTSP, Penelitian Tindakan Kelas, Penulisan Karya Ilmiah, dan sebagainya. 

h. Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah 

Dengan membaca dan memahami isi jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan guru dapat mengembangkan profesionalismenya. Selanjutnya dengan meningkatnya pengetahuan seiring dengan bertambahnya pengalaman, guru diharapkan dapat membangun konsep baru, keterampilan khusus dan alat/media belajar yang dapat memberikan kontribusi dalam melaksanakan tugasnya. 

i. Berpartisipasi dalam pertemuan ilmiah 

Partisipasi guru minimal pada kegiatan konferensi atau pertemuan ilmiah setiap tahun akan memberikan kontribusi yang berharga dalam membangun profesionalisme guru dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Penyampaian makalah utama, kegiatan diskusi kelompok kecil, pameran ilmiah, pertemuan informal untk bertukar pikiran atau ide-ide baru, dan sebagainya saling berintegrasi untuk memberikan kesempatan pada guru untuk tumbuh sebagai seorang profesional. 

j. Melakukan penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas) 

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan studi sistematik yang dilakukan guru melalui kerjasama atau tidak dengan ahli pendidikan dalam rangka merefleksikan dan sekaligus meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus juga merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Berbagai kajian yang bersifat reflektif oleh guru yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya, dan memperbaki kondisi dimana praktik pembelajaran berlangsung akan bermanfaat sebagai inovasi pendidikan. 

k. Magang 

Magang ini dilakukan bagi para guru pemula. Bentuk pelatihan pre-service atau in-service bagi guru junior untuk secara gradual menjadi guru profesioal melalui proses magang di kelas tertentu dengan bimbingan guru bidang studi tertentu. Berbeda dengan pendekatn pelatihan yang konvensional, fokus pelatihan magang ini adalah kombinasi antara materi akademis dengan suatu pengalaman lapangan di bawah supervisi guru yang senior dan berpengalaman (guru yg lebih profesional). 

l. Mengikuti berita aktual dari media pemberitaan 

Pemilihan yang hati-hati program radio dan televisi, dan sering membaca surat kabar juga akan meningkatan pengetahuan guru mengenai pengembangan mutakhir dari proses pendidikan. Berbagai bentuk media tersebut seringkali memuat artikel-artikel maupun program-program yg berkaitan dengasn berbagai isu atau penemuan terkini mengenai pendidikan yang disampaikan dan dibahas secara mendalam oleh para ahli pendidikan. Oleh karena itu, penggunaan media pemberitaan secara efektif yang terkait dengan bidang yang ditekuni guru akan dapat membantu proses peningkatan profesionalisme guru. 

m. Berpartisipasi dan aktif dalam organisasi profesi 

Ikut serta menjadi anggota organisasi/komunitas profesional juga akan meningkatkan profesionalisme guru. Organisasi/komunitas profesional biasanya akan melayani anggotanya untuk selalu mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan membangun hubungan yang erat dengan masyarakat (swasta, industri, dan sebagainya). Dalam hal ini yang terpenting adalah guru harus pandai memilih satu bentuk organisasi profesional yang dapat memberi manfaat utuh bagi dirinya melalui bentuk investasi waktu dan tenaga. 

n. Menggalang kerjasama dengan teman sejawat 

Kerjasama dengan teman seprofesi sangat menguntungkan bagi pengembangan profesionalisme guru. Banyak hal dapat dipecahkan dan dilakukan berkat kerjasama, seperti: penelitian tindakan kelas, berpartisipasi dalam kegiatan ilmiah, dan kegiatan-kegiatan profesional lainnya.

File Lengkap Silahkan didownload disini


Jumat, 27 Mei 2011

PENERAPAN PERMAINAN TRADISIONAL ”GEBOK” DALAM MENGAJARKAN MATEMATIKA

A. PERMAINAN “GEBOK”

“Gebok” adalah suara yang biasa ditimbulkan apabila bola karet yang digunakan dalam permainan ini mengenai anggota badan dari pemain, sehingga permainan ini dikenal dengan nama permainan “Gebok”

Permainan “Gebok” sudah sangat lama dikenal di Indonesia. Permainan ini terkenal diberbagai daerah di tanah air dengan nama yang berbeda-beda dengan alat yang berbeda namun pada prinsipnya aturan permainannya sama. Di daerah Sunda misalnya, permainan ini dikenal dengan nama bebencaran. Permainan bebencaran menggunakan tumpukan pecahan genting sebagai targetnya. Bencar artinya terurai atau terpecah, sehingga bebencaran menunjuk pada upaya pemain untuk selalu memencarkan potongan genteng yang semula ditumpuk rapih di atas tanah (http://bagusardisaputro.blogspot.com). Di daerah Sulawesi Selatan permainan ini dikenal dengan nama “ boy-boyan” dan menggunakan tumpukan batu yang disusun sebagai targetnya. Sedangkan di daerah Pati Jawa Tengah, permainan ini dikenal dengan nama Gaprek Kempung.

Permainan gebok menggunakan bola karet (Bola Tenis) dan beberapa kaleng susu bekas. Permainan ini dapat dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan dan jumlah pemain tidak ditentukan. Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak-anak berumur 6 sampai 12 tahun. Dalam permainan ini tidak diperlukan peralatan khusus, yang dibutuhkan hanya 15 buah buah kaleng susu bekas yang disusun bertingkat dan sebuah bola karet. Permainan ini juga membutuhkan halaman yang cukup luas, biasanya anak-anak menggunakan halaman rumah sebagai tempat bermain.

Secara selintas dapat diperoleh gambarkan bahwa permainan ini adalah permainan beregu, dimana dalam satu regu minimal berjumlah 2 orang. Kelompok bermain dibagi menjadi dua yaitu regu penyusun dan regu penjaga. Setiap anggota regu penyusun akan bekerja sama dalam menyusun tumpukan kaleng secara bertingkat sedangkan regu penjaga akan bekerja sama dalam melempar bola ( bola akan dinyatakan “mati” apabila terlalu lama berada ditangan salah satu anggota regu penjaga )

Aturan Permainan :
Siswa dibagi ke dalam dua kelompok bermain, misal regu A dan regu B. Kemudian buat lingkaran kurang lebih bergaris tengah 50 cm untuk menempatkan tumpukan kaleng susu bekas atau sesuai dengan jumlah kaleng yang digunakan, dan buatlah garis batas yang berjarak 20-25 meter (sesuai kesepakatan) dari tumpukan kaleng susu bekas.

Lakukan undian antara regu A dan regu B, misal regu B menang, maka secara bergantian setiap anggota dari regu B berusaha melempar tumpukan kaleng dengan bola tenis dari luar garis batas yang ditentukan. Setiap anggota berkesempatan melakukan 1 kali lemparan. Bila semua anggota regu B tidak ada yang mengenai tumpukan, maka ganti regu A yang bermain. Bila semua anggota regu A juga tidak ada yang mengenai tumpukan, maka ganti regu B yang bermain, demikian seterusnya hingga ada salah satu regu yang dapat mengenai tumpukan kaleng (target).

Bila ada lemparan yang mengenai tumpukan kaleng, misalkan lemparan dari salah satu anggota regu A dapat mengenai tumpukan kaleng, maka dengan cepat anggota regu A yang lain berusaha untuk menyusun kembali tumpukan kaleng yang berserakan, sedang anggota dari regu B berusaha mengambil bola tenis untuk melempar anggota regu A yang sedang menyusun kembali tumpukan kaleng susu bekas. Anggota regu A berpencar, berusaha agar tidak terkena lemparan bola dari regu B, bila lemparan regu B tidak mengenai anggota badan dari regu A, maka regu Aakan terus menumpuk target sampai selesai. Jika anggota regu A selesai menumpuk target tanpa terkena lemparan dari anggota regu B, maka regu B dinyatakan kalah.

Sebagai hukuman, setiap anggota kelompok B berdiri di dalam lingkaran menggantikan targetnya, kemudian secara bergantian setiap anggota dari regu A melempar anggota regu B dengan bola tenis dari luar garis batas yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya bergantian regu A yang memegang bola dan regu B yang akan menata tumpukan kalengnya. Pada dasarnya prinsip dari permainan ini adalah salah satu regu menumpuk target, sedangkan regu yang memegang bola berusaha untuk mengganggu dengan melempar bola tenis ke salah satu regu yang menyusun kaleng (target).

B. PENERAPAN PERMAINAN “GEBOK” DALAM KONSEP MEMBILANG SECARA BERURUTAN

Permainan “Gebok” adalah salah satu permainan tradisional yang dapat digunakan dalam menjelaskan konsep membilang secara berurutan pada siswa kelas III SD. Pada pembelajaran matematika siswa kelas III SD/MI semester ganjil, terdapat materi Letak Bilangan Pada Garis Bilangan. Pada meteri pembelajaran tersebut salah satu tujuan yang akan dicapai adalah siswa diharapkan dapat membilang secara berurutan.

Permainan “Gebok” dapat digunakan untuk melatih siswa menentukan letak bilangan pada garis bilangan pada siswa SD/MI kelas III sebagai berikut :

Urutan bilangan pada garis bilangan di atas menunjukkan makin ke kanan bilangannya makin besar. Bilangan yang terletak di sebelah kanan lebih besar daripada bilangan yang terletak di sebelah kiri, hal tersebut dapat dilakukan dengan memberi angka pada setiap kaleng susu bekas yang digunakan dalam permainan “Gebok”. Perhatikan gambar dibawah ini:

Contoh kasus:
Misalkan dalam satu kelas terdapat 20 0rang siswa, maka siswa tersebut dibagi menjadi 4 regu, dimana masing-masing regu beranggotakan 5 orang siswa. Sehingga terdapat 2 kelompok pemain. Sebelum permainan dimulai, kaleng susu bekas yang sudah diberi label angka disusun dalam bentuk tumpukan seperti gambar diatas. Kemudian kedua regu di undi, anggota regu yang menang berdiri pada garis pelempar sedangkan anggota regu yang kalah berjaga di sekitar tumpukan kaleng. Misalkan regu A memenangkan undian maka anggota regu A berdiri pada garis pelempar untuk melempar tumpukan kaleng yang sudah disusun tadi dengan bola karet yang sudah disiapkan.

Misalkan lemparan bola karet dari anggota regu A berhasil mengenai sebagian tumpukan kaleng, sehingga tumpukan kaleng yang tersisa nampak seperti gambar berikut :

Maka anggota regu A yang lain berusaha untuk menyusun kembali tumpukan kaleng yang berserakan, sedang anggota dari regu B berusaha mengambil bola tenis untuk melempar anggota regu A yang sedang menyusun kembali tumpukan kaleng susu bekas. Anggota regu A berpencar agar tidak terkena lemparan bola dari regu B.

Dalam menyusun kaleng yang terjatuh, siswa membutuhkan konsep membilang secara berurutan. Kaleng-kaleng yang berjatuhan harus disusun sesuai dengan angka yang tertera pada kaleng seperti pada susunan awal. Siswa dari anggota regu A, memilih angka antara 4 dan 7 yaitu angka 5 dan 6. Kemudian memilih angka antara 11 dan 14 yaitu angka 12 dan 13, begitu seterusnya hingga susunan kaleng selesai.

Kegiatan psikomotorik permainan ini tetap mengarah pada aspek kognitif siswa, tetapi dibarengi pula oleh aspek afektif yang harus ditanamkan pada siswa antara lain yaitu menanamkan sikap berani bertindak dan membuat keputusan, ulet, mengembangkan sikap bersosialisasi, menanamkan sikap jujur, menanamkan kemampuan berkomunikasi, menanamkan sikap toleransi dan demokrasi.
Download File Lengkap

PEMBELAJARAN MATEMATIKA TRADISIONAL

A. MATEMATIKA TRADISIONAL

Matematika tradisional adalah pembelajaran matematika yang dikembangkan pada awal kemerdekaan untuk membentuk karakter bangsa indonesia setelah berakhirnya masa kolonialisme di indonesia. Pembelajaran matematika tradisional ini dikembangkan berdasarkan teori belajar behaviouristik yang menekankan pada pembentukan tingkah laku belajar melalui pembiasaan diri yang terjadi melalui latihan dan pengulangan.

Matematika tradisional merupakan pembelajaran matematika yang berasal dari pengalaman-pengalaman siswa, yang dilakukan dengan melakukan drill (latihan) secara terus menerus yang mekanistik dan cenderung bersifat abstrak. (Blog.unsri.ac.id).

Menurut Endah Retnowati (2008), Ciri-ciri Matematika Tradisional:
  1. Mengikuti platonism. Menurut aliran Platonism obyek dan struktur matematika mempunyai keberadaan yang riil yang tidak bergantung pada manusia dan mengerjakan matematika adalah suatu proses penemuan hubungan-hubungan sebelumnya. Jadi matematika memuat jabaran tentang obyek dan hubungannya, serta struktur yang menghubungkannya.
  2. Matematika dipelajari sesuai apa yang dikembangkan di matematika. Pembelajaran matematika dilaksanakan mengacu pada kurikulum yang berlaku dan disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan pembelajaran.
  3. Menekankan prosedur-prosedur matematika
  4. Jarang menggunakan teknologi
  5. Melakukan pemecahan masalah secar rutin
  6. Menggunakan metode dril untuk mempelajari konsep dasar
  7. Memberikan solusi manual untuk permasalahan aljabar.
  8. Menekankan pada bagaimana menyelesaikan masalah
  9. Menyajikan soal dalam bentuk cerita (word problems) tradisional
  10. Pembelajaran secara klasikal, latihan-latihan, guru adalah pemberi materi.
Karakteristik matematika tradisional, yaitu: (1) Matematika tradisional mengutamakan keterampilan berhitung dan hafalan, (2) Penggunaan bahasa dan istilah dalam matematika tradisional sederhana, (3) Matematika tradisional menggunakan konsep-konsep lama. (parjono.wordpress.com)

B. PEMBELAJARAN MATEMATIKA TRADISIONAL

1. Pendekatan Pembelajaran Matematika Tradisional
Menurut Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003). Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu. Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan, yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru (teacher centered approach). Pembelajaran matematika tradisional menggunakan pendekatan pembelajaran yang berorientasi pada guru (Teacher centered approach). Guru dianggap sebagai gudang ilmu, guru bertindak otoriter dan guru yang lebih aktif dalam pembelajaran di kelas Dalam pembelajaran matematika tradisional, guru mendominasi dalam kegiatan pembelajaran dan selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh siswa.

Dalam menyampaikan materi pembelajaran, guru menjelaskan/ membuktikan dalil-dalil secara langsung kepada siswa kemudian memberikan contoh-contoh soal. Siswa duduk rapi mendengarkan, kemudian meniru pola-pola yang sudah diajarkan oleh guru dan mencontoh cara-cara guru dalam menyelesaikan soal-soal. Siswa bertindak pasif. Para siswa pada umumnya kurang diberi kesempatan untuk berinisiatif untuk mencari jawaban sendiri dan merumuskan dalil-dalil berdasarkan kemampuannya. Para siswa diharapkan dapat mengetahui “bagaimana cara menyelesaikan soal” meskipun konsep yang dimiliki oleh siswa masih sangat kurang. Hal yang paling nampak dari pembelajaran matematika tradisional adalah bahwa pembelajaran menekankan pada kemampuan siswa untuk menghafal konsep matematika. Hal tersebut dapat melatih fungsi otak para siswa.

2. Metode Pembelajaran Matematika Tradisional
(Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.

Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something” sedangkan metode adalah “a way in achieving something” (Wina Senjaya (2008). Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Terdapat beberapa metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran, diantaranya: (1) Ekspositori/Ceramah; (2) Demonstrasi; (3) Diskusi; (4) Simulasi ( wikmaping4.blogspot.com)

Pembelajaran Matematika Tradisional menggunakan metode pembelajaran tunggal yaitu metode ekspositori. Menurut Herman Hudoyo (1998 : 133) metode ekspositori dapat meliputi gabungan metode ceramah, metode drill, metode tanya jawab, metode penemuan dan metode peragaan. Metode ekspositori adalah metode pembelajaran yang digunakan dengan memberikan keterangan terlebih dahulu definisi, prinsip dan konsep materi pelajaran serta memberikan contoh-contoh latihan pemecahan masalah dalam bentuk ceramah, demonstrasi, tanya jawab dan penugasan. Siswa mengikuti pola yang ditetapkan oleh guru secara cermat. Penggunaan metode ekspositori merupakan metode pembelajaran mengarah kepada tersampaikannya isi pelajaran kepada siswa secara langsung. (Sunartombs.wordpress.com)

Pada pembelajaran matematika tradisional, Pemberian tugas diberikan guru berupa soal-soal (pekerjaan rumah) yang dikerjakan secara individual atau kelompok. Adapun hasil belajar yang dievaluasi adalah luas dan jumlah pengetahuan, keterampilan, dan nilai yang dikuasai siswa. Pada umumnya alat evaluasi hasil belajar yang digunakan adalah tes yang telah dibakukan atau tes buatan guru.

3. Kelebihan Matematika Tradisional
  1. Matematika tradisional memperhatikan kemampuan dasar, khususnya dalam operasi hitung pada aritmetika.
  2. Mudah diajarkan karena tidak menekankan pada pehahaman tentang aksioma.Lebih mengutamakan kepada melatih otak.
  3. Siswa mempunyai konsep dasar matematika yang bagus -definisi dan teorema yang sistematis dan hirarkis- karena konsep selalu diberikan di awal pembelajaran.
4. Kekurangan Matematika Tradisional
  1. Matematika tradisional mengutamakan keterampilan berhitung dan hafalan daripada pengertian, sehingga anak didik tahu cara menyelesaikan soal tetapi tidak mengetahui mengapa soal tersebut diselesaikan.
  2. Penggunaan bahasa dan istilah dalam matematika traditional belum tepat. Misalnya dalam matematika traditional kita sering mengatakan “Luas sebuah segitiga sama dengan …….”. Dalam matematika modern kita mengatakan “Luas daerah sebuah segitiga adalah ……”. Alasannya ialah karena segitiga itu tidak mempunyai luas.
  3. Matematika tradisional masih menggunakan konsep-konsep lama, padahal matematika selalu tumbuh dan berkembang sehingga konsep-konsep lama tidak begitu digunakan lagi karena sudah ada konsep baru yang jauh lebih baik.


Download File Lengkap

PENERAPAN PERMAINAN TRADISIONAL ”GEBOK” DALAM MENGAJARKAN KONSEP MATEMATIKA

A. PERMAINAN “GEBOK”

“Gebok” adalah suara yang biasa ditimbulkan apabila bola karet yang digunakan dalam permainan ini mengenai anggota badan dari pemain, sehingga permainan ini dikenal dengan nama permainan “Gebok”

Permainan “Gebok” sudah sangat lama dikenal di Indonesia. Permainan ini terkenal diberbagai daerah di tanah air dengan nama yang berbeda-beda dengan alat yang berbeda namun pada prinsipnya aturan permainannya sama. Di daerah Sunda misalnya, permainan ini dikenal dengan nama bebencaran. Permainan bebencaran menggunakan tumpukan pecahan genting sebagai targetnya. Bencar artinya terurai atau terpecah, sehingga bebencaran menunjuk pada upaya pemain untuk selalu memencarkan potongan genteng yang semula ditumpuk rapih di atas tanah (http://bagusardisaputro.blogspot.com). Di daerah Sulawesi Selatan permainan ini dikenal dengan nama “ boy-boyan” dan menggunakan tumpukan batu yang disusun sebagai targetnya. Sedangkan di daerah Pati Jawa Tengah, permainan ini dikenal dengan nama Gaprek Kempung.

Permainan gebok menggunakan bola karet (Bola Tenis) dan beberapa kaleng susu bekas. Permainan ini dapat dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan dan jumlah pemain tidak ditentukan. Permainan ini umumnya dimainkan oleh anak-anak berumur 6 sampai 12 tahun. Dalam permainan ini tidak diperlukan peralatan khusus, yang dibutuhkan hanya 15 buah buah kaleng susu bekas yang disusun bertingkat dan sebuah bola karet. Permainan ini juga membutuhkan halaman yang cukup luas, biasanya anak-anak menggunakan halaman rumah sebagai tempat bermain.

Secara selintas dapat diperoleh gambarkan bahwa permainan ini adalah permainan beregu, dimana dalam satu regu minimal berjumlah 2 orang. Kelompok bermain dibagi menjadi dua yaitu regu penyusun dan regu penjaga. Setiap anggota regu penyusun akan bekerja sama dalam menyusun tumpukan kaleng secara bertingkat sedangkan regu penjaga akan bekerja sama dalam melempar bola ( bola akan dinyatakan “mati” apabila terlalu lama berada ditangan salah satu anggota regu penjaga )

Aturan Permainan :
Siswa dibagi ke dalam dua kelompok bermain, misal regu A dan regu B. Kemudian buat lingkaran kurang lebih bergaris tengah 50 cm untuk menempatkan tumpukan kaleng susu bekas atau sesuai dengan jumlah kaleng yang digunakan, dan buatlah garis batas yang berjarak 20-25 meter (sesuai kesepakatan) dari tumpukan kaleng susu bekas.

B. PENERAPAN PERMAINAN “GEBOK” DALAM KONSEP MEMBILANG SECARA BERURUTAN

Permainan “Gebok” adalah salah satu permainan tradisional yang dapat digunakan dalam menjelaskan konsep membilang secara berurutan pada siswa kelas III SD. Pada pembelajaran matematika siswa kelas III SD/MI semester ganjil, terdapat materi Letak Bilangan Pada Garis Bilangan. Pada meteri pembelajaran tersebut salah satu tujuan yang akan dicapai adalah siswa diharapkan dapat membilang secara berurutan.
Permainan “Gebok” dapat digunakan untuk melatih siswa menentukan letak bilangan pada garis bilangan pada siswa SD/MI kelas III sebagai berikut :

Urutan bilangan pada garis bilangan di atas menunjukkan makin ke kanan bilangannya makin besar. Bilangan yang terletak di sebelah kanan lebih besar daripada bilangan yang terletak di sebelah kiri, hal tersebut dapat dilakukan dengan memberi angka pada setiap kaleng susu bekas yang digunakan dalam permainan “Gebok”. Perhatikan gambar dibawah ini:

Contoh Kasus :
Misalkan dalam satu kelas terdapat 20 0rang siswa, maka siswa tersebut dibagi menjadi 4 regu, dimana masing-masing regu beranggotakan 5 orang siswa. Sehingga terdapat 2 kelompok pemain. Sebelum permainan dimulai, kaleng susu bekas yang sudah diberi label angka disusun dalam bentuk tumpukan seperti gambar diatas. Kemudian kedua regu di undi, anggota regu yang menang berdiri pada garis pelempar sedangkan anggota regu yang kalah berjaga di sekitar tumpukan kaleng. Misalkan regu A memenangkan undian maka anggota regu A berdiri pada garis pelempar untuk melempar tumpukan kaleng yang sudah disusun tadi dengan bola karet yang sudah disiapkan.

Misalkan lemparan bola karet dari anggota regu A berhasil mengenai sebagian tumpukan kaleng, sehingga tumpukan kaleng yang tersisa nampak seperti gambar berikut :

Maka anggota regu A yang lain berusaha untuk menyusun kembali tumpukan kaleng yang berserakan, sedang anggota dari regu B berusaha mengambil bola tenis untuk melempar anggota regu A yang sedang menyusun kembali tumpukan kaleng susu bekas. Anggota regu A berpencar agar tidak terkena lemparan bola dari regu B.

Dalam menyusun kaleng yang terjatuh, siswa membutuhkan konsep membilang secara berurutan. Kaleng-kaleng yang berjatuhan harus disusun sesuai dengan angka yang tertera pada kaleng seperti pada susunan awal. Siswa dari anggota regu A, memilih angka antara 4 dan 7 yaitu angka 5 dan 6. Kemudian memilih angka antara 11 dan 14 yaitu angka 12 dan 13, begitu seterusnya hingga susunan kaleng selesai.

Kegiatan psikomotorik permainan ini tetap mengarah pada aspek kognitif siswa, tetapi dibarengi pula oleh aspek afektif yang harus ditanamkan pada siswa antara lain yaitu menanamkan sikap berani bertindak dan membuat keputusan, ulet, mengembangkan sikap bersosialisasi, menanamkan sikap jujur, menanamkan kemampuan berkomunikasi, menanamkan sikap toleransi dan demokrasi.
Download File Lengkap

Jumat, 25 Februari 2011

Traditional Mathematics (Matematika Tradisional)

Typically it is the “lattice” method of multiplication that pushes parents over the edge. This method taught to elementary school students under the Everyday Mathematics program, one of several national programs collectively labeled “constructivist” or “Chicago” math, is so jarring to those raised in a traditional math program that it ends up being the last straw. For the last five years or so parents and some educators across the country have raised doubts about constructivist math, sometimes generating enough protest to have the program thrown out of their school district. Even locally, recent protests by parents in the Flemington-Raritan school district are raising the same kind of doubts heard elsewhere: kids are unable to do simple math operations in real life, kids are confused by multiple methods of operations and kids are at a disadvantage in later grades when traditional methods are the norm. Readington uses the Everyday Math program, and in our own district there is a low rumble of discontent.

Is there really a problem? Is this a case of parents stuck in their ways, unable to see beyond their own childhood experience? Do constructivist math programs like Everyday Math offer innovative strategies for modern students, or do they simply confuse students with pointless computational methods removed from the real world? Is traditional math instruction any better? Let’s do the math.

Lee Stiff, a past President of the National Council of Teachers of Mathematics, rejects the label “constructivist” math. The term was coined because these programs aim to have students construct their own knowledge through their own process of reasoning. He prefers the term “standards” based mathematics, but whatever the term the program is the same. In a defense of these programs Mr. Stiff writes:

“Reform-minded teachers pose problems and encourage students to think deeply about possible solutions. They promote making connections to other ideas within mathematics and other disciplines. They ask students to furnish proof or explanations for their work. They use different representations of mathematical ideas to foster students' greater understanding. These teachers ask students to explain the mathematics.

Their students are expected to solve problems, apply mathematics to real-world situations, and expand on what they already know. Sometimes they work with other students. Sometimes they work alone. Sometimes they use calculators. Sometimes they use only paper and pencil.” It is hard to argue with a statement like that. It sounds reasonable enough. Who would disagree that students should not have a deeper understanding of math?

It might be that some of the roots of constructivist math are in the field of early childhood education where preschool and Kindergarten aged children have long been encouraged to understand mathematical concepts in multiple physical and intuitive ways. Maria Montessori pioneered the use of what modern teachers call “manipulatives.” These physical teaching aids, which might be a simple as blocks, help young minds grasp the nature of mathematical concepts through their senses. Just as two times six equals twelve on paper, two piles of six blocks equals twelve on the classroom floor. Such techniques are long recognized as useful and necessary to promote developmental growth. A variety of available physical outlets for understanding mathematical concepts means that young children will be able to develop a comfortable relationship with numbers on their own.

That same sort of philosophy is part of the constructivist math program. The idea that children could have different methods for reaching the same answer or those children should be allowed to find a method with which they are personally most comfortable is not inconsistent with established early childhood educational norms. Yet, there is one key difference with constructivist math programs: now we are much further along on the developmental scale. Everyday Math and similar national programs are used not in preschool but in elementary school and on up to sixth or even eighth grade. In writing curriculum, “invented” spelling is allowed in lower grades so as not to stifle creativity for the sake of accuracy. In later grades, though, spelling is examined and corrected and eventually accurate spelling is required. This principle does not seem to have a corollary in constructivist math. The disparaging term “fuzzy” math is a reference to this fact. Constructivist math programs do not make the kind of distinctions for developmental growth found in other curriculum areas and that means that in later grades there is not a particular emphasis on efficiency or accuracy at least compared to traditional programs.

What exactly is taught in Everyday Math? Algorithms for addition include the partial sums method and the column addition method, plus the traditional method most adults use. In subtraction the “trade-first” and “left to right” methods are introduced. In multiplication the “lattice” method, partial products method and the “Egyption” method are introduced alongside the traditional method. The partial quotients method is introduced for division. A detailed review of these methods can be found here. Some of these methods, while not traditional, do approximate what many adults would do in their head to come up with an answer without pencil and paper or without calculator.
However, these methods are not taught as interesting mathematical asides, but as primary methods for finding answers. In fact, classroom tests included with Everyday Math require students to do problems using more than one method. Many critics have also noted that the program is inconsistent over grade levels. Certain methods are required in early grades, perhaps encouraging a particular student to rely on a favorite method for multiplication calculations. Then, on tests in later grades, that favorite method may be disallowed on tests or a different method now unfamiliar may be required. What is more, in districts like Readington where the program is not utilized throughout the child’s whole educational career, there may be a sudden harsh adjustment when the switch to traditional math occurs. Calculators are introduced in very early grades in constructivist programs, leading some to wonder if they are a quick path to a permanent crutch. Critics nationwide have also pointed out the difficulty children in constructivist math programs have moving on to algebra and other higher order mathematics curriculum where a thorough knowledge of traditional math methods is expected. Stories of large numbers of students requiring tutoring in traditional methods in order to participate in higher order math are common.

In 2003 the Minnesota legislature removed constructivist math from its state curriculum. The Director of Undergraduate Mathematics Education at the University of Minnesota, Dr. Lawrence Gray, said near this time that constructivist or “reform” math was depriving Minnesota students of a good math education because:
1. University students who had taken reform math in K-12 were at a huge disadvantage
in being able to succeed in university-level mathematics.
2. Students taking reform math were not learning enough algebra to prepare them
for college math.
3. Many university students who took reform math were dropping out of math classes
when they discovered they would have to take remedial math to succeed at the university.
4. High school students taking reform math were one to two years below grade-level
in their math skills.

These are common sentiments. A November 9, 2005 article in the New York Times detailed the story of constructivist math in the Penfield, NY school district, noting that the district itself is now offering remedial classes in traditional methods to some 300 students to help answer the demands of angry parents.

Is switching back to traditional math curriculum the simple answer, then? Traditional math has its own baggage. The derogatory term “drill and kill” came about at least in part due to unending dittos full of math problems divorced from any meaning. Interminable drills in multiplication and other operations may serve to help children memorize math facts but they can also serve to deaden any interest in pursuing the field further. True, a certain amount of memorization is inevitable, but is there no better way to present the lesson? And, what of students who are not strong in memorization skills or who struggle with traditional computational methods? Constructivist math has attempted to answer this problem, but traditional methods offer little guidance.

Traditional programs have a strict focus on accuracy and efficiency—certainly two critical matters when it comes to math! The computational methods stressed in traditional programs are taught because they have been found to be the quickest and most efficient means of getting the correct answer. Imagine a carpenter laying out stair stringers, or a shopper figuring the cost per pound of a product, or a manufacturing clerk taking a quick inventory. Time and accuracy are at a premium to these people and constructivist methods are of little use. To suggest, for example, that adults in real life circumstances would draw a grid, giving each box a diagonal, and then slog through the “lattice” method of multiplication instead of using the traditional method or grabbing a calculator is pure folly. The boss is waiting, time is money, and there are bigger fish to fry. Yet, traditional math curriculum is also legitimately criticized for avoiding the questions of developmental ability, of student differentiation, and of sheer boredom. In traditional programs, one size fits all even when it doesn’t. In traditional programs memorization and mind-numbing repetition are the minimum height for the mathematical carnival ride, even when the student is too short.

Instead of connecting mathematics with real life and offering meaningful reasons for students to do computations, traditional programs often fall back on the unspoken expression “because you have to, that’s why.” It should also be noted that the other areas of curriculum which once helped students understand the value of math skills, such as industrial arts, home economics, and physical education, are cut back or missing from modern schools. Learning math just for the sake of math will only appeal to a small fraction of the student population.

What is our answer, then? If constructivist math programs have laudable goals of reaching out to each student, of providing differentiation and of offering a deeper view of math, it is in the execution where the programs have failed. By ignoring real world circumstances and developmental growth over grade levels, constructivist math programs can bog down students in pointless techniques and processes and stifle chances for later success in math. Parents may find their children going ever sideways and never forward. Constructivist math programs may look good on the drawing board, but they can be slippery where the rubber meets the road. Traditional programs don’t fare much better. By focusing on memorization rather than meaning, and by failing to provide the means for differentiation between students, traditional programs offer achievement for those interested in numbers for the sake of numbers but defeat for many other students.

Teachers in the classroom have offered the closest thing to an answer, and this fact also explains why some communities become bitterly opposed to constructivist programs and other communities tolerate the programs. In many districts teachers simply do not follow the Everyday Math and similar programs as closely as the designers would have preferred. These teachers mix in traditional methods. They leave out or minimize troublesome features. They take it upon themselves to differentiate in their classroom while making certain all the children meet a minimum standard for real world performance. In short, they do their own thing. Such behavior can sometimes drive administrators up a wall, but teachers often are the buffer between children and stupidity. This mix between traditional and constructivist ideas and methods might be the compromise and the solution, except for two problems.
First, in some states and some districts formal or standardized tests used to gauge mathematical achievement necessitate a thorough understanding of constructivist methods for a child to score well. The New York State Regents exam is one example. Children may score well on the tests, but they fail when it comes to real world computation or higher order math classes in later grades. Students win and lose at the same time. Second, administrators have a valid point: fifty teachers doing their own thing means one thousand students with differing standards of mathematical knowledge and achievement. The teachers are making the best of a bad situation, but leadership must eventually unite such efforts.

In the end there must be unification of the constructivist goals of deeper understanding and meaningful connections and the traditionalist goals of accuracy and efficiency. Frankly, neither side has distinguished itself in nationally used programs, but somewhere there must be someone who can solve this equation.
Download File

Jumat, 18 Februari 2011

OLIMPIADE SAINS NASIONAL MATEMATIKA SMA

"Olimpiade sains nasional" pasti bukan hal baru untuk teman-teman. sudahkah kalian mempersipkan diri kalian untuk menjadi juara olimpiade selanjutnya ???
khusus untuk olimpiade nasional SMA bidang studi Matematika, ada beberapa hal yang harus kalian persiapkan agar bisa menjadi juara olimpiade selanjutnya...

1. kemampuan dalam memecahkan masalah (Problem solving)
2. kemampuan penalaran (Reasoning)
3. kemampuan berkomunikasi secara tertulis yang baik.

Pemecahan masalah dipahami sebagai pelibatan diri dalam masalah tidak-rutin (non-routine problem), yaitu masalah yang metode penyelesaiannya tidak diketahui di muka. Masalah tidak-rutin menuntut pemikiran produktif seseorang untuk menciptakan (invent) strategi, pendekatan dan teknik untuk memahami dan menyelesaikan masalah tersebut. Pengetahuan dan ketrampilan saja tidak cukup.

Ia harus dapat memilih pengetahuan dan ketrampilan mana yang relevan, meramu dan memanfaatkan hasil pilihannya itu untuk menangani masalah tidak-rutin yang dihadapinya.Boleh jadi seseorang secara intuitif dapat menemukan penyelesaian dari masalah matematika yang dihadapinya. Bagaimana ia dapat meyakinkan dirinya (dan orang lain) bahwa penyelesaian yang ditemukannya itu memang penyelesaian yang benar? Ia harus memberikan justifikasi (pembenaran) untuk penyelesaiannya itu. Justifikasi yang dituntut disini mestilah berdasarkan penalaran matematika yang hampir selalu berarti penalaran deduktif.

Peserta OSN Matematika SMA/MA perlu menguasai teknik-teknik pembuktian seperti bukti langsung, bukti dengan kontradiksi, kontraposisi, dan induksi matematika.OSN Matematika SMA/MA berbentuk tes tertulis. Oleh karena itu, peserta perlu memiliki kemampuan berkomunikasi secara tertulis. Tulisan haruslah efektif,yaitu dapat dibaca dan dimengerti orang lain serta menyatakan dengan tepat apa yang dipikirkan penulis.
Selain itu, OSN Matematika SMA/MA adalah tes dengan waktu terbatas. Ini berarti bahwa peserta harus dapat melakukan ketiga hal di atas secara efisien.

Pada dasarnya, OSN Matematika SMA/MA mencakup materi matematika yang lazim diberikan dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, diluar materi kalkulus dan statistika, dan sejumlah tambahan. Dengan diberlakukannya KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), kurikulum disatu sekolah dapat berbeda dari sekolah lain, sehingga materi tambahan ini mungkin sudah dicakup dalam kurikulum sejumlah sekolah. Oleh karena itu,daftar materi tambahan berikut bisa jadi beririsan (overlap) dengan materi dalam kurikulum. Hendaknya diingat juga bahwa peserta OSN memahami materi yang diujikan, bukan sekadar mengetahui fakta materi tersebut.

contoh:
Kombinatorika
[2002] Wati menuliskan suatu bilangan yang terdiri dari 6 angka (6 digit) di papan tulis, tetapi kemudian Iwan menghapus 2 buah angka 1 yang terdapat pada bilangan tersebut sehingga bilangan yang terbaca menjadi 2002. Berapa banyak bilangan dengan enam digit yang dapat Wati tuliskan agar hal seperti di atas dapat terjadi?

Jawab:
Banyaknya cara Wati menuliskan bilangan 6-angka sama dengan banyaknya cara menyisipkan dua angka 1 pada bilangan 2002 (termasuk sebelum angka pertama dan sesudah angka terakhir). Ada lima tempat menyisipkan, yaitu 3 di dalam, 1 di depan, dan 1 di belakang:

_2_0_0_2_

Jika kedua angka 1 terpisah, ada 52 C = 10 cara melakukannya. Jika kedua angka 1 bersebelahan,ada 5 cara melakukannya. Jadi ada 10 + 5 = 15 cara Wati menuliskan bilangan 6-angka.

untuk berlatih silahkan download soal-soal ini, GRATIS...

olimpiade matematika SMA dan penyelesaiannya tingkat kabupaten 2010

freedownload soal olimpiade matematika SMP tingkat Kabupaten 2003

freedownload soal olimpiade matematika SMP tingkat Kabupaten 2004

freedownload soal olimpiade matematika SMP tingkat Kabupaten 2007

freedownload soal olimpiade matematika SMP tingkat Kabupaten 2008

freedownload soal olimpiade matematika SMP tingkat Kabupaten 2009

Minggu, 19 Desember 2010

Teori Belajar Gagne

Gagne mengemukakan bahwa belajar adalah perubahan yang terjadi dalam kemampuan manusia yang terjadi setelah belajar secara terus-menerus, bukan hanya disebabkan oleh pertumbuhan saja. Belajar terjadi apabila suatu situasi stimulus bersama dengan isi ingatannya mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya berubah dari sebelum ia mengalami situasi dengan setelah mengalami situasi tadi. Belajar dipengaruhi oleh faktor dalam diri dan faktor dari luar siswa di mana keduanya saling berinteraksi.

Komponen-komponen dalam proses belajar menurut Gagne dapat digambarkan sebagai S - R. S adalah situasi yang memberi stimulus, R adalah respons atas stimulus itu, dan garis di antaranya adalah hubungan di antara stimulus dan respon yang terjadi dalam diri seseorang yang tidak dapat kita amati, yang bertalian dengan sistem alat saraf di mana terjadi transformasi perangsang yang diterima melalui alat dria. Stimulus ini merupakan input yang berada di luar individu dan respon adalah outputnya, yang juga berada di luar individu sebagai hasil belajar yang dapat diamati.

Objek Belajar Matematika

Menurut Gagne belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. objek tak langsung antara lain kemampuan menyelidiki, kemampuan memecahkan masalah, ketekunan, ketelitian, disiplin diri, bersikap positif terhadap matematika. Sedangkan objek tak langsung berupa fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip.

Fakta adalah konvensi (kesepakatan) dalam matematika seperti simbol-simbol matematika. Fakta bahwa 2 adalah simbol untuk kata ”dua”, simbol untuk operasi penjumlahan adalah ”+” dan sinus suatu nama yang diberikan untuk suatu fungsi trigonometri. Fakta dipelajari dengan cara menghafal, drill, latiahan, dan permainan.

Keterampilan(Skill) adalah suatu prosedur atau aturan untuk mendapatkan atau memperoleh suatu hasil tertentu. contohnya, keterampilan melakukan pembagian bilangan yang cukup besar, menjumlahkan pecahan dan perkalian pecahan desimal. Para siswa dinyatakan telah memperoleh keterampilan jika ia telah dapat menggunakan prosedur atau aturan yang ada dengan cepat dan tepat.keterampilan menunjukkan kemampuan memberikan jawaban dengan cepat dan tepat.

Konsep adalah ide abstrak yang memunkinkan seseorang untuk mengelompokkan suatu objek dan menerangkan apakah objek tersebut merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Contoh konsep himpunan, segitiga, kubus, lingkaran. siswa dikatakan telah mempelajari suatu konsep jika ia telah dapat membedakan contoh dan bukan contoh. untuk sampai ke tingkat tersebut, siswa harus dapat menunjukkan atribut atau sifat-sifat khusus dari objek yang termasuk contoh dan yang bukan contoh.

Prinsip adalah pernyataan yang memuat hubungan antara dua konsep atau lebih. Prinsip merupakan yang paling abstrak dari objek matematika yang berupa sifat atau teorema. Contohnya, teorema Pytagoras yaitu kuadrat hipotenusa pada segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat dari dua sisi yang lain. Untuk mengerti teorema Pytagoras harus mengetahui konsep segitiga siku-siku, sudut dan sisi. Seorang siswa dinyatakan telah memahami prinsip jika ia dapat mengingat aturan, rumus, atau teorema yang ada; dapat mengenal dan memahami konsep-konsep yang ada pada prinsip tersebut; serta dapat menggunakannya pada situasi yang tepat.

Fase-fase Belajar

Menurut Gagne belajar melalui empat fase utama yaitu:

1. Fase pengenalan (apprehending phase). Pada fase ini siswa memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. ini berarti bahwa belajar adalah suatu proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik yang dia terima pada situasi belajar.

2. Fase perolehan (acqusition phase). Pada fase ini siswa memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi baru dan informasi lama.

3. Fase penyimpanan (storage phase). Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.

4. Fase pemanggilan (retrieval phase). Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.


Keempat fase belajar manusia ini telah disatukan menyerupai model sistem komputer, meskipun sedikit lebih kompleks daripada yang ada pada manusia. komputer menangkap rangsangan listrik dari pengguna komputer, memperoleh stimulus dalam central processing unit, menyimpan informasi dalam stimulus pada salah satu bagian memori, dan mendapatkan kembali informasi pada penyimpanannya. jika siswa mempelajari prosedur menentukan nilai pendekatan akar kuadrat dari bilangan yang bukan kuadrat sempurna, mereka harus memahami metode, memperoleh metode, menyimpan di dalam memori, dan memanggil kembali ketika dibutuhkan.

Untuk membantu siswa melangkah maju melalui empat tahap dalam mempelajari algoritma akar kuadrat, guru menimbulkan pemahaman dengan mengerjakan suatu contoh pada papan tulis, memudahkan akusisi setelah setiap siswa mengerjakan contoh dengan mengikutinya, langkah demi langkah, daftar petunjuk, membantu penyimpanan dengan memberikan soal-soal untuk pekerjaan rumah, dan memunculkan pemanggilan kembali dengan memberikan kuis pada hari berikutnya.

Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar, fase generalisasi adalah fase transer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut. Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu.
Tipe Belajar

Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar siswa ke delapan tipe belajar, dengan tipe belajar yang rendah merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Hal tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Belajar Isyarat (Signal Learning)

Signal learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya. Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan buat berlangsungnya tipe belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak, stimulus-stimulus tertentu secara berulang kali. Respon yang timbul bersifat umum dan emosional, selainnya timbulnya dengan tak sengaja dan tidak dapat dikuasai.

Beberapa ucapan kasar untuk mempermalukan, siswa yang gelisah pada saat pelajaran matematika mungkin karena kondisi tidak suka matematika pada orang itu. Belajar isyarat sukar dikontrol oleh siswa dan dapat mempunyai pengalaman yang pantas dipertimbangkan pada tindakannya. konsekuensinya, seorang guru matematika, seharusnya mencoba membangkitkan stimulus yang tidak dikondisikan yang akan menimbulkan perasaan senang pada siswa dan berharap mereka akan mengasosiasikan beberapa perasaan senang dengan isyarat netral pada pelajaran matematika. Apabila perlakuan yang disenangi membangkitkan hal-hal positif, stimulus yang tidak diharapkan mungkin gagal menimbulkan asosiasi keinginan positif dengan isyarat netral, kecerobohan menimbulkan stimulus negatif, pada satu waktu akan merusak keinginan siswa untuk mempelajari pelajaran yang diajarkan.
Belajar Stimulus-Respons (Stimulus-Respon Learning)

Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat penguatannya. Kemampuan tidak diperoleh dengan tiba-tiba, akan tetapi melalui latihan-latihan. Respon dapat diatur dan dikuasai. Respon bersifat spesifik, tidak umum, dan kabur. Respon diperkuat dengan adanya imbalan atau reward. Sering gerakan motoris merupakan komponen penting dalam respon itu.

Rantai atau Rangkaian hal (Chaining)
Tipe belajar ini masih mengandung asosiasi yang kebanyakan berkaitan dengan keterampilan motorik. Chaining ini terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, oleh sebab yang satu terjadi segera setelah yang satu lagi, jadi berdasarkan ”contiguity”. Kondisi yang diperlukan bagi berlangsungnya tipe balajar ini antara lain, secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan satuan pola S-R, baik psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.

Kebanyakan aktivitas dalam matematika memerlukan manipulasi dari peralatan fisik seperti mistar, jangka, dan model geometri membutuhkan chaining. Belajar membuat garis bagi suatu sudut dengan menggunakan jangka membutuhkan penerapan keterampilan tipe stimulus respn yang telah dipelajari sebelumnya. Diantaranya kemampuan menggunakan jangka untuk menarik busur dan membuat garis lurus antara dua titik.

Ada dua karakteristik dari belajar stimulus respon dan belajar rangkaian dalam pengajaran Matematika yaitu siswa tidak dapat menyempurnakan rangkaian stimulus respon apabila tidak menguasai salah satu keterampilan dari rangkaian tersebut, dan belajar stimulus respon dan rangkaian diafasilitasi dengan cara memberikan penguatan bagi tingkah laku yang diinginkan. Meskipun memberi hukuman dapat digunakan untuk meningkatkan belajar stimulus respon, tetapi hal tersebut dapat berakibat negatif terhadap emosi, sikap, dan motivasi belajar.

Asosiasi Verbal (Verbal Association)

Asosiasi verbal adalah rangkaian dari stimulus verbal yang merupakan hubungan dari dua atau lebih tindakan stimulus respon verbal yang telah dipelajari sebelumnya. Tipe paling sederhana dari belajar rangkaian verbal adalah asosiasi antara suatu objek dengan namanya yang melibatkan belajar rangkaian stimulus respon dari tampilan objek dengan karakteristiknya dan stimulus respon dari pengamatan terhadap suatu objek dan memberikan tanggapan dengan menyebutkan namanya.

Asosiasi verbal melibatkan proses mental yang sangat kompleks. Asosiasi verbal yang memerlukan penggunaan rangkaian mental intervening yang berupa kode dalam bentuk verbal, auditory atau gambar visual. Kode ini biasanya terdapat dalam pikiran siswa dan bervariasi pada tiap siswa dan mengacu kepada penyimpanan kode-kode mental yang unik. Contoh seseorang mungkin menggunakan kode mental verbal ”y ditentukan oleh x” sebagai petunjuk kata fungsi, orang lain mungkin memberi kode fungsi dengan menggunakan simbol ”y=f(x)” dan orang yang lain lagi mungkin menggunakan visualisasi diagram panah dari dua himpunan.

Belajar Diskriminasi (Discrimination Learning)

Discrimination learning atau belajar menmbedakan sejumlah rangkaian, mengenal objek secara konseptual dan secara fisik. Dalam tipe ini anak didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua peransang atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap sesuai. Kondisi utama bagi berlangsungnya proses belajar ini adalah anak didik sudah mempunyai kemahiran melakukan chaining dan association serta pengalaman (pola S-R). Contohnya: anak dapat membedakan manusia yang satu dengan yang lain; juga tanaman, binatang, dan lain-lain. Guru mengenal anak didik serta nama masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak-anak.

Terdapat dua macam diskriminasi yaitu diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Contoh mengenalkan angka 2 pada anak dengan memperlihatkan 50 angka 2 pada kertas dan menggambar angka 2. Melalui stimulus respon sederhana anak belajar mengenal (nama ”dua” untuk konsep dua). Sedangkan untuk diskriminasi ganda anak belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan membedakan angka-angka tersebut.
Belajar konsep (Concept Learning)

Belajar konsep adalah mengetahui sifat-sifat umum benda konkrit atau kejadian dan mengelompokan objek-objek atau kejadian-kejadian dalam satu kelompok. Dalam hal ini belajar konsep adalah lawan dari belajar dari diskriminasi. Belajar diskriminasi menuntut siswa untuk membedakan objek-objek karena dalam karakteristik yang berbeda sedangkan belajar konsep mengelompokkan objek-objek karena dalam karakteristik umum dan pembahasan kepada sifat-sifat umum.

Dalam belajar konsep, tipe-tipe sederhana belajar dari prasyarat harus dilibatkan. Penambahan beberapa konsep yang spesifik harus diikutkan dengan prasyarat rangkaian stimulus respon, asosiasi verbal yag cocok, dan diskriminasi dari karakteristik yang berbeda . Sebagai contoh, tahap pertama belajar konsep lingkaran mungkin belajar mengucapkan kata lingkaran sebagai suatu membangkitkan sendiri hubungan stimulus respon, sehingga siswa dapat mengulangi kata. Kemudian siswa belajar untuk mengenali beberapa objek berbeda sebagai lingkaran melalui belajar asosiasi verbal individu. Selanjutnya siswa mungkin belajar membedakan antara lingkaran dan objek lingkaran lain seperti dan lingkaran. Hal tersebut penting bagi siswa untuk menyatakan lingkaran dalam variasi yang luas. Situasi representatif sehingga mereka belajar untuk mengenal lingkaran. Ketika siswa secara spontan mengidentifikasi lingkaran dalam konteks yang lain, mereka telah memahami konsep lingkaran. Kemampuan membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang baru merupakan Kemampuan yang membedakan belajar konsep dengan bentuk belajar lain. Ketika siswa telah mempelajari suatu konsep, siswa tidak membutuhkan waktu lama untuk mengidentifikasi dan memberikan respon terhadap hal baru dari suatu konsep, sebagai akibatnya cara untuk menunjukkan bahwa suatu konsep telah dipelajari adalah siswa dapat membuat generalisasi konsep kedalam situasi yang lain.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan suatu konsep baru kepada siswa:

1). Memberikan variasi hal-hal yang berbeda konsep untuk menfasilitasi generalisasi.

2). Memberikan contoh-contoh perbedaan dikaitkan dengan konsep untuk membantu diskriminasi.

3). Memberikan yang bukan contoh dari konsep untuk meningkatkan pemahaman diskriminasi dan generalisasi.

4). Menghindari pemberian konsep yang mempunyai karakteristik umum.

Belajar Aturan (Rule Learning)

Belajar aturan (Rule learning) adalah kemampuan untuk merespon sejumlah situasi (stimulus) dengan beberapa tindakan (Respon). Kebanyakan belajar matematika adalah belajar aturan. sebagai contoh, kita ketahui bahwa 5 x 6 = 6 x 5 dan bahwa 2 x 8 = 8 x 2; akan tetapi tanpa mengetahui bahwa aturannya dapat dinyatakan dengan a x b = b x a. Kebanyakan orang pertama belajar dan menggunakan aturan bahwa perkalian komutatif adalah tanpa dapat menyatakan itu, dan biasanya tidak menyadari bahwa mereka tahu dan menerapkan aturan tersebut. Untuk membahas aturan ini, harus diberikan verbal(dengan kata-kata) atau rumus seperti “ urutan dalam perkalian tidak memberikan jawaban yang berbeda” atau “untuk setiap bilangan a dan b, a x b = b x a.

Aturan terdiri dari sekumpulan konsep. Aturan mungkin mempunyai tipe berbeda dan tingkat kesulitan yang berbeda. Beberapa aturan adalah definisi dan mungkin dianggap sebagai konsep terdeinisi. konsep terdefinisi n! = n (n – 1) (n -2). . . (2)(1) adalah aturan yang menjelaskan bagaimana mengerjakan n! Aturan-aturan lain adalah rangkaian antar kosep yang terhubung, seperti aturan bahwa keberadaan sejumlah operasi aritmetika seharusnya dikerjakan dengan urutan x, :, +, – . Jika siswa sedang belajar aturan mereka harus mempelajari sebelumnya rangkaian konsep yang menyusun aturan tersebut. Kondisi-kondisi belajar aturan mulai dengan merinci perilaku yang diinginkan pada siswa. seorang siswa telah belajar aturan apabila dapat menerapkan aturan itu dengan tepat pada beberapa situasi yang berbeda.

Robert Gagne memberikan 5 tahap dalam mengajarkan aturan:

Tahap 1: menginformasikan pada siswa tentang bentuk perilaku yang diharapkan ketika belajar

Tahap 2: bertanya ke siswa dengan cara yang memerlukan pemanggilan kembali konsep yang telah dipelajari sebelumnya yang menyusun konsep

Tahap 3: menggunakan pernyataan verbal (petunjuk) yang akan mengarahkan siswa menyatakan aturan sebagai rangkaian konsep dalam urutan yang tepat.

Tahap 4: dengan bantuan pertanyaan, meminta siswa untuk “mendemonstrasikan” satu contoh nyata dari aturan
Tahap 5 (bersifat pilihan, tetapi berguna untuk pengajaran selanjutnya): dengan pertanyaan yang cocok, meminta siswa untuk membuat pernyataan verbal dari aturan.

Pemecahan Masalah (Problem solving)

Tipe belajar ini menurut Gagne merupakan tipe belajar yang paling kompleks, karena di dalamnya terkait tipe-tipe belajar yang lain, terutama penggunaan aturan-aturan yang disertai proses analisis dan penarikan kesimpulan. Pada tingkat ini siswa belajar merumuskan memecahkan masalah, memberikan respon terhadap ransangan yang menggambarkan atau membangkitkan situasi problematik. Tipe belajar ini memerlukan proses penalaran yang kadang-kadang memerlukan waktu yang lama, tetapi dengan tipe belajar ini kemampuan penalaran siswa dapat berkembang. Dengan demikian poses belajar yang tertinggi ini hanya mungkin dapat berlangsung apabila proses belajar fundamental lainnya telah dimiliki dan dikuasai.

Kriteria suatu pemecahan masalah adalah siswa belum pernah sebelumnya menyelesaikan masalah khusus tersebut,walaupun mungkin telah dipecahkan sebelumnya oleh banyak orang. sebagai contoh pemecahan masalah, siswa yang belum pernah sebelumnya belajar rumus kuadrat, menurunkan rumusnya untuk menentukan penyelesaian umum persamaan ax2 + bx + c = 0. Siswa akan memilih keterampilan melengkapkan kuadrat tiga suku dan menerapkan keterampilan dalam cara yang tepat untuk menurunkan rumus kuadrat, dengan melaksanakan petunjuk dari guru.

Pemecahan masalah biasanya melibatkan lima tahap : (1). Menyatakan masalah dalam bentuk umum, (2). Menyatakan kembali masalah dalam suatu defenisi operasional, (3). Merumuskan hipotesis alternatif dan prosedur yang mungkin tepat untuk memecahkan masalah, (4). Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk memperoleh solusi dan (5). Menentukan solusi yang tepat.

Hasil-Hasil Belajar

Setelah selesai belajar, penampilan yang dapat diamati sebagai hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan (capabilities). Kemampuan-kemampuan tersebut dibedakan berdasarkan atas kondisi mencapai kemampuan tersebut berbeda-beda. Ada lima kemampuan (kapabilitas) sebagai hasil belajar yang diberikan Gagne yaitu :
1. Informasi Verbal. Informasi verbal adalah kemampuan siswa untuk memiliki keterampilan mengingat informasi verbal, ini dapat dicontohkan kemampuan siswa mengetahui benda-benda, huruf alphabet dan yang lainnya yang bersifat verbal.

2. Keterampilan intelektual. Keterampilan intelektual merupakan penampilan yang ditunjukkan siswa tentang operasi-operasi intelektual yang dapat dilakukannya. Keterampilan intelektual memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui penggunaan simbol-simbol atau gagasan-gagasan. Yang membedakan keterampilan intelektual pada bidang tertentu adalah terletak pada tingkat kompleksitasnya. Untuk memecahkan masalah siswa memerlukan aturan-aturan tingkat tinngi yaitu aturan-aturan yang kompleks yang berisi aturan-aturan dan konsep terdefinisi, untuk memperoleh aturan-aturan ini siswa sudah harus belajar beberapa konsep konkret, dan untuk belajar konsep konket ini siswa harus menguasai diskriminasi-diskriminasi.

3. Strategi kognitif. Strategi kognitif merupakan suatu macam keterampilan intelektual khusus yang mempunyai kepentingan tertentu bagi belajar dan berpikir. Proses kontrol yang digunakan siswa untuk memilih dan mengubah cara-cara memberikan perhatian, belajar, mengingat dan berpikir. Beberapa strategi kogniti adalah strategi menghafal, strategi menghafal, strategi elaborasi, strategi pengaturan, strategi metakognitif, dan strategi afektif.

4. Sikap-sikap. Merupakan pembawaan yang dapt dipelajari dan dapat mempengaruhi perilaku seseorang terhadap benda, kejadiaan atau makhluk hidup lannya. sekelompok siswa yang penting ialah sikap-sikap terhjadap orang lain. Bagaimana sikap-sikap sosial itu diperoleh setelah mendapat pembelajaran itu menjadi hal yang penting dalam menerapkan metode dan materi pembelajaran.

5. Keterampilan-keterampilan motorik. Ketarampilan motorik merupakan keterampilan kegiatan fisik dan penggambungan kaegiatan motorik dengan intelektual seabagai hasil belajar seperti membaca, menulis, dan sebagai berikut.

Kejadian-kejadian Instruksi
Mengajar dapat kita pandang sebgai usaha mengontrol kondosi eksternal. Kondisi eksternal merupakan satu bagian dari proses belaajar, namun termasuk tugas guru dalam mengajar. Menurut Gagne mengajar terdiri dari sejumlah kejadian-kejadian tertentu yang dikenal dengan ”Nine Instruction events” yang dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Memelihara perhatian (Gain attention). Dengan stimulus eksternal kita berusaha membangkitkan perhatian siswa untuk belajar.

2. Menjelaskan tujuan pembelajaran (Inform Lerners of Objectives). Menjelaskan kepada siswa tujuan dan hasil apa yang diharapkan setelah belajar. Ini dilakukan dengan komunikasi verbal.

3. Meransang ingatan siswa (Stimulate recall of prior learning). Meransang ingatan siswa untuk mengingat kembaali konsep, aturan dan keterampilan yang merupakan prasyarat agar memahami pelajaran yang akan diberikan.

4. Manyajikan stimulus (Present the content). Menyajikan stimuli yang berkenaan dengan bahan pelajaran sehingga siswa menjadi lebih siap menerima pelajaran

5. Memberikan bimbingan (Provide “learning guidance”). Memberikan bimbingan kepada siswa dalam proses belajar

6. Memantapkan apa yang telah dipelajari (Elicit performance/practice). Memantapkan apa yang dipelajari dengan memberikan latihan-latihan untuk menrapkan apa yang telah dipelajari itu.

7. Memberikan umpan balik (Provide feedback). Memberikan feedback atau balikan dengan memberitahukan kepada siswa apakah hasil belajarnya benaar atau tidak.

8. Menilai hasil belajar(Assess performance). Menilai hasil-belajar dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengetahui apakah ia telah benar menguasai bahan pelajaran itu dengan membrikan soal.

9. Mengusahakan transfer (Enhance retention and transfer to the job). Mengusahakan transfer dengan memberikan contoh-contoh tambahan untuk menggeneralisasikan apa yang telah dipelajari itu sehingga ia dapat menggunakannya dalam situasi-situasi yang lain.

Berikut ini adalah contoh yang menggambarkan pengajaran yang mengacu pada sembilan kejadian-kejadian belajar, mengajarkan segitiga sama sisi

1. menujukkan di komputer bentuk bangun datar segitiga yang bervariasi.
2. Memgajukan pertanyaan : Apa yang dimaksud dengan segitiga sama sisi?
3. Meninjau kembali definisi segitiga
4. memberikan deenisi segitiga sama sisi
5. memberikan contoh segitiga sama sisi
6. meminta siswa untuk membuat 5 contoh yang berbeda
7. Memeriksa semua contoh
8. Memberikan nilai dan pengulangan
9. menujukkan gambar suatu benda dan meminta siswa untuk mengidentifikasi segitiga sama sisi.
Download File Lengkap

Model Pengembangan Guru

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengharuskan orang untuk belajar terus, terlebih seorang yang mempunyai tugas mendidik dan ...